Karena mau menjelang Ramadhan maka saya akan posting tentang Religion.
memang tidak aneh kaitannya Ramadhan itu dengan pelaksanaan amal ibadah
yang bernama puasa. Namun masih sedikit yang mengetahui arti dari
Ramadhan dan perintah puasa itu dalam meyakinkan dari hikmah kedua kata
yang saling terkait itu sendiri yang tidak dapat dipisahkan. Terkecuali
bagi mereka (kaum muslimin) yang menimba ilmu dari berbagai sumber para
ulama salaf (terdahulu) yang penuh keikhlasan dan semangat jihadnya tak
terputus karena demi materi semata. Sebaiknya alangkah sangat agung
dalam keyakinan masyarakat awam (umum) untuk mengetahui hal itu. Kenapa
kedua kata itu saling mengait dan tidak dapat dipisahkan? Karena
perintah itu merupakan amaliyah individu bersifat perintah yang wajib
dilaksanakan yang belum tentu orang lain dapat mengetahuinya, maka
penegasannya pun datang langsung dari Sang Maha Pencipta agar seseorang
itu benar-benar mangamalkannya. Jika tidak, Allah jualah Yang Maha
Mengetahui terhadap amaliyah seseorang, Allah SWT berfirman:
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [QS 2
Al-Baqarah: ayat 185]
Sebaiknya kita simak dari kalimat-kalimat ayat ini. Di dalam ayat ini
ada kata Ramadhan yang berasal dari akar kata dasar r – m – dl, atau
dalam huruf Arab terdiri dari huruf ra – mim – dlad asal kata (madli)
ra-mi-dla yang berarti “panas” atau “panas yang menyengat”. Kata itu
berkembang –sebagaimana biasa terjadi dalam struktur bahasa Arab– dan
bisa diartikan “menjadi panas, atau sangat panas”, atau dima’nai “hampir
membakar”. Jika orang Arab mengatakan Qad Ramidla Yaumunâ, maka itu
berarti “hari telah menjadi sangat panas”.
Ar-Ramadlu juga bisa diartikan “panas yang diakibatkan sinar matahari”.
Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Ramadhan itu adalah salah satu
nama Allah SWT. Dalam hal ini kalau melihat dari ayat tersebut di atas
tidaklah mungkin diartikan nama Allah, karena pendapat ini memang lemah
dan tidak memiliki argumentasi literal.
Itulah singkat dari pengartian istilah bulan Ramadhan diambil dari
kalimat ramidla –yarmadlu, yang berarti “panas atau keringnya mulut
dikarenakan rasa haus”. Keterangan-keterangan tentang lafadz Ramadhan
ini disampaikan oleh Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir Al-Razi (w.
721 H.) dalam kamus Mukhtarush Shihhah dan Muhammad bin Mukarram bin
Mandzur Al-Mashrî (630 – 711 H.), yang terkenal dengan sebutan Ibnu
Mandzur, dalam karya monumentalnya, Lisanul ‘Arab.
Sedangkan kata puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyâm atau Shaum
–keduanya sama-sama kata dasar dari kata kerja Sha-wa-ma–, yang secara
etimologis berarti menahan dan tidak bepergian dari satu tempat ke
tempat lain (Al-Syaukani, 1173 – 1255 H., Fathul-Qadîr). Shiyâm atau
Shaum merupakan qiyâm bilâ ‘amal, yang berarti ‘beribadah tanpa
bekerja’. Dikatakan ‘tanpa bekerja’ karena puasa itu sendiri bebas dari
gerakan-gerakan (harakât), baik gerakan itu berupa; berdiri, berjalan,
makan, minum dan sebagainya. Sehingga, Ibnu Durayd –sebagaimana dinukil
dalam Al-Alusi– mengatakan bahwa segala sesuatu yang diam dan tidak
bergerak, berarti sesuatu itu Shiyâm (sedang berpuasa).
Selain itu, puasa juga sebagaimana disebutkan di atas, berarti ‘menahan’
dari sesuatu pekerjaan. Dan ‘sesuatu’ perintah itu telah ditentukan
oleh syari’at. Pemahaman intinya dalam syari’at, puasa memiliki
pengertian tersendiri. Makna puasa yang “menahan” ini juga terlihat
jelas tatkala jika menelusuri sejarah bahasa shiyâm atau Shaum.
Oleh Ibnu Mandzur, pakar sejarah bahasa Arab yang hampir tiada duanya,
dalam hasil pelacakannya atas asal-muasal kata, mendefinisikan Shaum
sebagai “hal meninggalkan makan, minum, menikah dan berbicara”. Definisi
ini adalah definisi paling asli dan shahih dalam sejarah bahasa Arab.
Juga cocok dengan keterangan Al-Qur’an, misalnya; pada kisah Sayyidah
Maryam saat menjawab cemoohan-cemoohan orang-orang kepadanya.
”Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada
hari ini.” (QS 19 Maryam: ayat 26) Kata ‘puasa’ yang dimaksud Sayyidah
Maryam pada ayat ini adalah “menahan untuk tidak bicara”.
Mengenai kata sifat ‘menahan’ menjadi titik atau letak perbedaan antara
puasa dengan amal ibadah yang lainnya. Jenis apapun amal ibadah
seseorang, pasti akan dapat diketahui dari sisi dhahir atau luarnya,
seperti shalat, haji dan sebagainya. Tetapi, untuk mengamalkan puasa
tidak bisa diketahui dan tidak bisa diperlihatkan dengan gerakan-gerakan
dzahir atau fisik jenis apapun. Pantas jika Nabi Muhammad saw bersabda
bahwa satu-satunya ibadah yang tidak bisa dicampuri adalah riya’
–memperlihatkan kebaikan tertentu– adalah dengan jalan puasa.
Jika memperhatikan dari keterangan-keterangan Ibnu Mandzur dan Al-Razi
tersebut di atas, baik tentang arti dari Ramadhan maupun puasa, ada
indikasi bahwa seolah-olah turunnya syari’at puasa, saling terkait dan
bersamaan waktunya dengan kelahiran dalam bulan Ramadhan. Dalam
keyakinan ilmiyahnya bisa dibenarkan, dikarenakan kedua kata itu
memiliki relasi arti yang dekat dan saling bersentuhan, yaitu sama-sama
‘panas’ atau ‘kering’ yang disebabkan ‘berpuasa’.
Secara awam, ada sebuah pertanyaan yang sifatnya umum; sejak kapan
pastinya bulan Ramadhan itu ada, dan sejak kapan pastinya puasa Ramadhan
disyari’atkan, sehingga kedua perkataan itu mengaitkan syari’at dengan
inti ma’nanya sebagai “panas, kering atau haus”? Dan sejak kapan puasa
diberlakukan kepada umat manusia? Bagaimana pula dengan puasa-puasa
terdahulu yang dilakukan tidak di bulan Ramadhan? Beberapa pertanyaan
ini akan, insya Allah akan dibahas dengan menelaah kembali ayat
Al-Qur’an yang menyangkut syari’at untuk melakukan puasa.
Di dalam ayat Al-Qur’an, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk
melakukan ibadah puasa adalah terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 183 –
184, yang artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.” Ayat ini turun
tanpa sebab tertentu, sebagaimana terjadi pada kebanyakan ayat-ayat
ahkam –ayat yang berkenaan dengan hukum–, yang turun setelah ada
peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi pada Nabi Muhammad saw atau
para shahabat.
Kandungan ayat-ayat dalam surah Al-Baqarah ini adalah surah yang turun
ketika Nabi Muhammad saw di Madinah (Madani) sebagai disebutkan sebuah
informasi yang menyatakan “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu”.
Pemahaman dari ayat ini di antaranya ada dua persoalan pokok yang
menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama, khususnya para
mufassir. Perbedaan pertama menyangkut kalimat “sebagaimana diwajibkan”.
Ini menjadi persoalan karena munculnya pertanyaan; apakah kesamaan
berpuasa yang diwajibkan atas kaum “sebelum kamu” adalah puasa di bulan
Ramadhan, atau (kedua) kesamaan itu hanya meliputi hal syari’at berpuasa
saja, sedangkan waktunya berada di bulan lain.
Titik utama dari persoalan ini, perbedaan timbul di antara dua pendapat.
Yang pertama, dimotori oleh Sa’id bin Jabir ra (w. 95 H), yang
cenderung mengartikan hukum tasybih (penyerupaan atau penyamaan) itu
hanya pada kewajiban berpuasanya saja, dan tidak meliputi berapa lama
dan pada bulan apa berpuasa. Pendapat ini berdasar pada realitas sejarah
dimana masyarakat Jahiliyah masih mengenali syari’at tersebut, walaupun
telah menjadi ‘sejarah’ serta tidak dilakukan di bulan Ramadhan yang
sudah dikenal.
Bisa jadi pendapat ini menyandarkan kepada salah satu firman Allah SWT
tentang bermacam-macamnya syari’at bagi masing-masing umat manusia,
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu --maksudnya: umat Nabi Muhammad saw
dan umat-umat yang sebelumnya--, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang
telah kamu perselisihkan itu” [QS 5 Al-Maa’idah: ayat 48].
Dan pendapat yang kedua lebih terfokus pemahaman pada lamanya hari
berpuasa dan bulan yang diwajibkannya berpuasa. Pendapat kedua ini
mengarahkan perhatiannya kepada ayat selanjutnya pada surah Al-Baqarah
ayat 184, yang berbunyi, “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.”
[ayyâman ma’dûdât]. Dengan demikian, secara global ulama kelompok ini
berpendapat bahwa puasa Ramadhan sebagaimana kaum muslimin melakukan
selama ini telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu.
Dasar pendapat ini tentu banyaknya riwayat yang menjelaskan tentang hal
itu, yang antara lain sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
‘Umar ra (w. 73 H), sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Katsir (701 – 774
H) yang dalam tafsirnya memuat, bahwa Nabi saw bersabda “Puasa bulan
Ramadhan telah diwajibkan oleh Allah SWT atas umat sebelum kamu”.
Keterangan pada pendapat yang kedua ini masih terjadi ikhtilaf
(perbedaan), apakah selama “beberapa hari yang tertentu” [ayyâman
ma’dûdât] berpuasa —yang diwajibkan pada kaum dahulu itu— adalah berupa
sebulan penuh dalam Ramadhan atau bulan-bulan lainnya?
Terhadap pendapat yang kedua ini, intinya memuat ikhtilaf dua pendapat,
pertama menyatakan bahwa puasa yang disyari’atkan pada ummat terdahulu
adalah berupa puasa selama tiga hari pada setiap bulan. Abdullah bin
‘Abbas sa (w. 69 H) mengatakan, ”Syari’at sebelumnya adalah puasa tiga
hari setiap bulan, lalu syari’at ini di-nasakh dengan syari’at yang
baru, melalui surah Al-Baqarah ayat 185” (Tafsîr Zâdl Mashîr). Pendapat
yang kedua mengklaim bahwa “hari-hari tertentu” yang dimaksud adalah
bulan Ramadhan itu sendiri. Jadi, pada bulan Ramadhan jugalah umat-umat
dahulu diwajibkan berpuasa.
Al-Suday menyatakan bahwa orang-orang Nasrani sebenarnya telah memiliki
syari’at puasa di bulan Ramadhan, tetapi karena mereka merasakan berat,
maka mereka kemudien merubahnya dengan berpuasa di waktu antara musim
dingin dan musim panas, serta menambah beberapa hari. Beberapa hari
tambahan itu dengan perincian masing-masing sepuluh hari sebelum dan
sesudah bulan yang disepakati ulama mereka. Sehingga, mereka berpuasa
selama lima puluh hari. Ibnu Jarir (224 – 310 H) secara lebih berani
meyakini seyakin-yakinnya adanya syari’at puasa di bulan Ramadhan bagi
Nasrani (Tafsîr ath-Thabari).
Sedangkan agamawan Yahudi, yang juga memiliki syari’at puasa di bulan
Ramadhan, menggantinya dengan puasa sehari dalam setahun. Hal itu, dalam
informasi yang dimiliki Syihabuddin Al-Âlusi (w. 1270 H), penulis
Tafsîr Ruhul Ma’âni, merupakan klaimnya bahwa hari itu adalah hari
tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya di laut Merah.
Perbedaan kedua –dalam menelaah ayat syari’at puasa itu– adalah tentang
siapa yang dimaksud dengan “orang-orang sebelum kamu”. Pendapat pertama
mengatakan yang dimaksud adalah orang-orang ”ahlul kitâb”, yaitu
mereka-mereka yang masih berpegang kepada kitab agama-agama sebelum
Islam (Yahudi dan Nasrani). Pendapat kedua menyebutkan kaum Nasranilah
yang dimaksud ayat itu. Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa
ayat itu memaksudkan seluruh umat-umat manusia sebelum umat Muhammad
saw.
Selain itu dalam konteks sejarah yang lain, syari’at puasa nampaknya
benar-benar menjadi syari’at setiap ummat. Sayyidah ‘Aisyah radliyallaau
’anha menceritakan –seperti yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah–
bahwa orang-orang Quraisy biasa menjalankan puasa di bulan ‘Asyura,
walaupun sehari saja. Namun sejak diutusnya Nabi Muhammad saw, puasa
dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Puasa di bulan ‘Asyura masih
disyari’atkan tetapi berada dalam status sunnah.
Juga masih ada riwayat lain yang menerangkan tentang syari’at puasa pada
ummat dahulu. Ad-Dlahâk, dalam riwayat Ibnu Abi Hatim mengatakan, bahwa
puasa pertama kali disyari’atkan di zaman Nabi Nuh ’alaihis salam, dan
masih tetap berlangsung hingga zaman nabi Muhammad saw. Syihabuddin
Al-Alusi (w. 1270 H), penulis Tafsir Ruhul Ma’âni, dengan dasar hadits
Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Umar itu, lebih percaya
bahwa puasa Ramadhan disyari’atkan sejak Nabi Adam ’alaihis salam.
Az-Zamakhsari (467 – 538 H) melalui telaahnya atas asal usul bulan
Ramadhan juga menegaskan bahwa puasa adalah amal ibadah yang sudah lama
[‘Ibaadah Qadiimah].
Dengan melihat dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Umar dan
beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syari’at yang tanpa
diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa hal lain –yang semuanya
telah disinggung di atas, nampak jelas bahwa “puasa pada bulan Ramadhan”
telah disyari’atkan kembali kepada manusia – tidak hanya kepada ummat
Muhammad saw– setelah sebelumnya dibelokkan oleh umat-umat terdahulu.
Hal ini mafhumnya lebih bisa diterima karena kemunculan Nabi Muhammad
saw adalah meluruskan dan memperkuat kembali syari’at-syari’at dari
Allah yang –sebagaimana difirmankan di dalam Al-Qur’an– telah ditahrif
atau diselewengkan oleh umat-umat terdahulu. Demi pelurusan dan
penguatan syari’at pada era Islam saat ini berkembang melahirkan dugaan
dari para sarjana Barat, bahwa syari’at agama Islam tidaklah murni
melainkan mengadopsi dari agama-agama sebelumnya. Inilah yang akhirnya
banyak kaum muslim terjebak dalam pemurtadan oleh pemahaman Barat.
Ikhwal mengenai kata Ramadhan, sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi
saw di atas –riwayat Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu anhu– dan juga
surat Al-Baqarah ayat 185, dirasa istilah itu mengikuti budaya Arab yang
sudah mengenal tradisi ber-Ramadhan. Yang maksudnya adalah, ketika
Al-Qur’an atau Nabi Muhammad saw menyebut kata Ramadhan, masyarakat
sudah tidak asing lagi dengan istilah ini. Bahkan dalam konteks struktur
bahasa Arab, kata ini sudah menjadi Ism ghoiri munsharif. Yang artinya
dan maksud kata itu sudah cukup terkenal dan tidak perlu lagi mengikuti
qaidah-qaidah gramatikal bahasa Arab.
Inti dari singkat penjelasan di atas adalah bisa difahami dan memastikan
pula bahwa bulan Ramadhan itu ada, setidaknya sejak syari’at puasa
diturunkan kepada ummat manusia. Karena, arti Ramadhan itu sendiri
adalah waktu dan/atau keadaan suatu hal dimana seseorang merasakan
panas, mulut terasa kering dan tenggorokan terasa haus, yang dikarenakan
sedang berpuasa. Sehingga dengan sendirinya dan secara otomatis, bulan
atau waktu dimana orang melakukan puasa disebut bulan atau waktu
Ramadhan, yaitu saat yang panas, kering dan haus.
Demikianlah sekedar telaahan untuk menambah pengetahuan bahwa syari’at
puasa memang sudah menjadi syari’at bagi setiap ummat manusia. Dan di
antara sekian macam syari’at, hanya ibadah puasa merupakan ibadah
kontemplatif. Hal ini bisa dibenarkan, karena dalam sebuah hadits Qudsy,
Allah SWT telah berfirman, “Seluruh amal ibadah anak-anak keturunan
Adam diperuntukkan kepada pelakunya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya
puasa adalah untukKu, dan Aku mengganjar karenanya”. Sehingga dengan
pernyataan Allah SWT itu, Imam al-Qurthubi (627 – 671 H) dalam tafsirnya
mengatakan bahwa ‘puasa merupakan (komunikasi) rahasia antara hamba
dengan Tuhannya’. Sudah selayaknya sangat bisa diterima jika Shuhuf-nya
Ibrahim ‘alaihis salam, Taurat untuk Musa ‘alaihis salam, Injîl untuk
Isa ‘alaihis salam dan Al-Qur’an pun turun pertama kali pada bulan
Ramadhan, bulan saat para pembebas sedang berkontemplasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar harus menggunakan kata-kata yang sopan.